Kondisi
politik di Jawa tahun 1500 masehi sedang terpecah menjadi dua kutub, utara dan
selatan. Yang di pesisir utara sudah memeluk agama Islam yang dibawa para
pedagang dari India dengan Demak sebagai representasi kerajaan. Sedang mereka
yang di selatan masih tetap menganut Hindu dan tunduk pada Majapahit.
Secara
ekonomi, tahun 1500 M adalah tahun kejayaan Kepulauan Nusantara. Nusantara
menjadi penyuplai sekaligus pusat perdagangan komiditas dunia terpenting yaitu
rempah-rempah. Nilai rempah-rempah saat itu seperti minyak bumi saat ini.
Dalam
catatan Portugis bertahun 1480 M, pendiri Demak adalah orang Tionghoa Muslim
bernama Cek Ko Po yang kemudian digantikan putranya yang bernama Pate Rodim.
Walau berasas Tionghoa, Demak kemudian lebih akrab dengan kerajaan Mughal di
India karena hubungan perdagangan dan ideologi agama. Ditambah lagi fakta bahwa
Mughal selalu berusaha melebarkan kekuasaan ke wilayah China sebagai bagian
dari wasiat Timurlenk. Dan mungkin juga karena ada pergantian Dinasti di China
pada awal tahun 1500-an, Han ke Ming.
Keakraban
Demak dan Mughal-India semakin mengental ketika perang salib berlangsung dan
berlakunya embargo rempah-rempah ke Eropa. Jalur rempah-rempah pada masa itu
dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam, mulai dari timur tengah sampai sebagai
pemasar ke Eropa sampai India dan Nusantara sebagai sumber rempah-rempah.
Aksi
embargo itulah yang akhirnya memaksa Bangsa Eropa berlayar mencari sendiri
sumber rempah dan melakukan kolonialisasi.
interaksi
antara orang Moor, Jawa dan China.
Mughal
mewarisi semangat Timurlenk dalam menyebarkan Islam. (Masih ingat kan? atau
klik di sini) Dinasti Islam India sebelum mughal, ditumpas habis oleh Timurlenk
karena tidak terlalu agresif menyebarkan Islam pada penduduknya. Demak selalu
mendapat provokasi dari Mughal untuk menyebarkan Islam ke seluruh Jawa, bila
perlu Majapahit ditumpas sekalian.
Provokasi
semakin gencar ketika Kesultanan Ottoman Turki juga mulai masuk ke Demak, Turki
dan Mughal tidak pernah akur karena sejarah Timurlenk. Mughal ingin terus
menjaga kedekatan dengan Demak karenanya dia ingin tampil sebagai pahlawan
dalam perluasan wilayah Demak.
Para
sunan yang saat itu kedudukanya sebagai penguasa wilayah (setara gubernur),
panglima perang sekaligus pemimpin spiritual sudah berkali-kali mengadakan
musyawarah dan menyetujui untuk menyerang Majapahit. Tapi selalu saja kandas
karena tidak mendapat restu dari ketua para sunan, yaitu Sunan Ampel, Maulana
Malik Ibrahim.
Sunan
Ampel yang berkuasa di Surabaya, selalu menolak usulan itu. Dia selalu beralasan
bahwa Majapahit bukan negara harby yang mengobarkan perang ataupun menjadi
ancaman pada Demak, lagipula di dalam kekuasaan Majapahit orang-orang Islam
bisa hidup dengan damai, maka tidak ada pembenaran Syar’i untuk memeranginya.
“Jeng
Sunan Ngampel mambengi, mring para wali sedaya, lawan putra sedayane, rehning
prabu Brawijaya, among sesadyanira, mring para wali sedarum, pinadekkaken
kewala”
(Sunan Ampel melarang semua para wali begitu juga semua putranya, karena Prabu
Brawijaya menjaga para wali semuanya, membiarkan saja apa yang dilakukan para
wali itu)
Sumber: Kitab Wali Sana – Babadipun Parawali yang bersumber dari Sunan Giri II.
ditulis ulang dan diterbikan oleh Penerbit dan Toko Buku “Sadabudi” Solo, 1955
Setelah Sunan Ampel wafat, perang akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Raden
Fatah, Raja Demak saat itu yang sebenarnya putra mantu dan aslinya kelahiran
Majapahit pun tak sanggup membendung nafsu perang.
Setelah
musyawarah para Wali dan disetujui Raden Fatah, agresi pertama Demak dipimpin
oleh Sunan Ngundung dengan 7.000 pasukan dan 40 modin dengan wakil panglima
Amir Hamzah putera Sunan Wilis.
Agresi
militer yang pertama ini pecah perang di daerah Tunggarana. Pasukan Demak
dihadang 11.000 pasukan Majapahit yang dipimpin Panglima Gajah Sena. Walau
akhirnya sukses menumpas Demak, tapi Majapahit kehilangan sang Panglima Gajah
Sena.
Demak
akhirnya mundur dengan pasukan tersisa cuma 35 orang, tapi Majapahit walau
sepertinya menang tapi kehilangan panglima perang adalah pukulan telak bagi
pertahanan kerajaan dalam menghadapi agresi militer kedua dari Demak.
Keputusan
Demak berperang ini tidak serta merta ditaati oleh semua orang Islam di tanah
Jawa. Bathara Katong yang berkuasa di Ponorogo (1485-1525M) menolak perang ini
karena itu adalah melanggar wasiat Sunan Ampel. Di Agresi Militer ke II,
Bathara Katong lebih memilih berperang dengan Majapahit melawan Demak.
Sunan
Ngundung dan Amir Hamzah beserta sisa 35 pasukan tidak kembali ke demak, mereka
berkemah di Lawu karena pantang pulang sebelum misi menaklukan Majapahit
selesai. Demak kemudian mengirimkan lagi 7.000 pasukan untuk menuntaskan misi.
Di
Majapahit, kemenangan terasa menyesakkan dada mereka karena tewasnya Panglima
Gajah Sena. Dalam pertempuran kehilangan seorang jenderal lebih menakutkan daripada
1000 pasukan.
Brawijaya
kemudian menyiagakan kembali pasukan dengan dipimpin sang putra mahkota Raden
Gugur. Ini adalah sebuah blunder besar, menurunkan putra mahkota ke medan laga
padahal musuh masih kuat.
Pertempuran
kedua berlangsung, Majapahit kembali menang tapi Raden Gugur tewas di medan
laga.
Di
saat genting bantuan dari Kadipaten Wengker utusan Bathara Katong tiba. Pasukan
Demak yang semula mengira mereka kawan menjadi kalang kabut karena wengker
memilih membela Majapahit.
7.000
pasukan Demak akhirnya musnah ditumpas, Sunan Ngundung dan Amir Hamzah putera
Sunan Wilis ikut tewas. Kabar kematian dua panglima berserta kekalahan kedua
ini benar-benar membuat suasana Demak mencekam.
Masyarakat
Demak diliputi isu bahwa kekalahan mereka karena melanggar wasiat Sunan Ampel
agar jangan menyerang Majapahit. Mereka merasa sebagai umat yang durhaka,
semangat tempur prajurit pun turun.
Karena
Nusantara adalah pusat perdagangan dunia, berita kekalahan kedua Demak menyebar
cepat ke seluruh dunia.
Di
saat bersamaan Turki Ottoman (tahun 1500-1525) sedang gencar berekspansi di
Timur Tengah dan Asia. Telah memiliki armada laut yang tangguh untuk bersaing
dengan Bangsa Eropa memperebutkan sumber rempah-rempah.
Mereka
mendapat hak eksklusif di samudra Hindia untuk melindungi rute pelayaranya. Ini
adalah hadiah dari kerajaan Aceh karena Turki sponsor Aceh dalam perang melawan
Batak.
Diplomasi
erat Turki-Aceh inilah yang mampu membuat Aceh bertahan sampai tahun 1910.
(Catatan Frederict De Houtman 1603M) Belanda baru berani menyerang Aceh saat
Turki Ottoman sudah runtuh.
Melihat
situasi Demak dan atas rekomendasi diplomasi Aceh serta semangat Pan Islamisme,
Turki membantu Demak dengan mengirimkan pasukan dan ahli senapan dan meriam. Di
kemudian hari Demak terkenal sebagai penghasil meriam terbaik di Nusantara.
Bagi
Turki, Demak sangat strategis untuk mengamankan pasokan rempah-rempah terkait
persainganya dengan Portugis. Terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis
tahun 1511 M.
Mughal
di India yang tak pernah akur dengan Turki Ottoman tak mau kalah dalam mencari
posisi keuntungan dalam perang Jawa. Mereka mengirim bantuan 50 ekor gajah
perang.
Mughal
sendiri tidak intens terlibat dalam perang karena pada saat yang sama mereka
juga terlibat perang melawan Portugis dalam rebutan Goa dan Ceylon.
Semangat
tempur pasukan Demak yang sempat surut karena takut kualat dengan wasiat Sunan
Ampel kini tumbuh kembali melihat semangat jihad dalam diri pasukan bantuan
asing.
Portugis
mencatat ada sekitar 300 pasukan Turki bersenjata lengkap dalam barisan militer
Demak. Melihat kekuatan Demak yang demikian kuat, Majapahit mencoba membuat
aliansi dengan Portugis.
Dalam
catatan Tome Pires bertahun 1512 M, Patih Udara dari Daha (Ibukota terakhir
Majapahit) mengirimkan seperangkat gamelan dan kain batik pada penguasa
Portugis di Malaka.
Kabar
ini semakin menguatkan tekad Demak untuk menginvasi Majapahit. Semangat jihad
dan anti Portugis membuat gelora Demak membara.
Dukungan
pasukan multinasional dan artileri berat tercanggih di zamanya. Serbuan
pamungkas Demak ke Majapahit ini seperti kisah film “The Last Samurai” dalam
bayangan saya.
Sebuah
peradaban agung bernama Majapahit yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa
kekuatan karena perang saudara, dihancurkan dengan meriam dan mesiu.
Lumrah
bila di hari ini sangat susah menemukan warisan bangunan monumental dari
peradaban Majapahit.
Daftar
bacaan:
1. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga jilid 1: Tanah di Bawah Angin,
Pustaka Obor.
2. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga jilid 2: Jaringan Perdagangan
Global, Pustaka Obor.
3. Sjamsudduha, Walisanga Tak Pernah Ada?, JP Books. (bersumber: serat drajat
dan serat badu wanar)
4. Prof. Kong Yuanzhi, Cheng Ho: Muslim China, Pustaka Obor
5. Ratna S., H. Schulte, Perpektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Pustaka
Obor
6. Agus Sunjoto, Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar, LKiS Jogja. (merujuk
pada serat-serat caruban/cirebon)